Apa yang sedang berkecamuk di panggung politik Indonesia memang menarik untuk ditonton. Betapa tidak menarik, menyaksikan kemelut politik antara Koalisi Merah Putih melawan Koalisi Indonesia Hebat, KPK versus polisi, Golkar Bakrie lawan Golkar Laksono, Gubernur Jakarta berhadapan dengan DPRD Jakarta, kasus Kepala Staf Kepresidenan, “penumpang gelap” dan “anak indekos”, uang muka mobil dinas, harga BBM naik-turun, Wakapolri dan beragam kemelut politik, dikompori media massa. Apalagi, media sosial yang memang gemar pertarungan politik.
Makin seru kemelut politik, makin laris produk-produk jurnalistik, jasa politik, dan jasa hukum.
Tidak perlu disangkal bahwa secara bisnis, era Reformasi dengan segala perbenturan politik secara lebih terbuka, memang membawa industri jurnalistik, jasa politik, dan jasa hukum ke masa keemasan.
Makin banyak KPK menangkap koruptor, makin banyak pula para produsen jasa hukum memperoleh pelanggan. Makin buruk bad news, makin bagus kemungkinan industri jurnalistik meningkatkan profit. Talk-shows paling diminati para pemasang iklan adalah yang paling menampilkan kontroversi politik. Para politikus dan mereka yang ahli politik sengit berdebat di panggung talk-show.
Sebagai penulis, saya juga bersyukur sebab tidak pernah kekurangan bahan tulisan. Sampai saya bingung memilah dan memilih bahan mana yang perlu dan tidak perlu saya tulis. Memang, industri hiburan politik benar-benar mengalami masa keemasan akibat kebebasan menyampaikan pendapat setelah sekian lama tertekan.
Kini pada era Reformasi, kebebasan memang sangat bebas sampai sering kebablasan. Untuk mengetahui apa yang terjadi di panggung kehidupan rakyat, saya memaksakan diri bangun dini hari untuk jalan keliling kawasan Hotel Sahid Jaya dan Midplaza sampai ke Citilooft Sudirman, yang tergolong kawasan kelas wahid di Indonesia, agar bisa bertemu dan berbincang langsung dengan para sopir taksi, pengojek sepeda motor, pedagang kaki lima, pengusaha warung makan, pemulung yang pukul 05.00 dini hari sudah giat mencari nafkah untuk keluarga.
Mengharukan bagaimana para pengusaha warung makan dan pedagang kaki lima rutin membayar retribusi, ikhlas setiap saat digusur. Sopir taksi dan pengojek sepeda motor mengeluh sebab harga BBM naik dan tarif terpaksa ikut naik, seperti halnya harga sembako sehingga terpaksa penghasilan menurun. Ada pemulung yang mempunyai enam anak mengeluh soal sekolah gratis, tetapi harus bayar uang gedung, buku, ujian, seragam, atau study tour ke Bali.
Semua menyatakan tidak peduli apa yang terjadi di panggung politik. Panggung kehidupan mereka sehari-hari jauh lebih penting untuk dipedulikan, bahkan diperjuangkan. Hanya satu dan satu-satunya yang antusias bicara politik sebab kebetulan mantan anggota parpol yang dikecewakan parpolnya sampai terpaksa menjadi sopir taksi.
Kesan rakyat tidak peduli politik tetapi lebih peduli nafkah juga saya peroleh ketika blusukan di kawasan kumuh Jakarta Utara, untuk menyerahkan sumbangsih jamu bagi para korban banjir. Apa yang terjadi di panggung kehidupan rakyat memang beda, seperti Bumi dengan langit, dari apa yang dipergelar di panggung politik.
Insya Allah para pelaku politik berkenan sejenak mawas diri, mengenai apakah yang mereka sedang asik lakukan di panggung politik itu berkaitan dengan subjek kebutuhan rakyat Indonesia, yang mereka elu-elukan, sebagai objek slogan dan kampanye politik masing-masing.
Hal yang benar-benar didambakan rakyat memang sebenarnya bukan hiburan komedi atau tragedi, apalagi horor politik; melainkan pangan, sandang, dan papan bagi diri dan keluarga masing-masing.