Selasa, 13 Oktober 2015

Softskill (ilmu Sosial Dasar) 3

Kerajaan Karangasem

        Nama ‘Karangasem’ sebenarnya berasal dari kata ‘Karang Semadi’. Beberapa catatan yang memuat asal muasal nama Karangasem adalah seperti yang diungkapkan dalam Prasasti Sading C yang terdapat di Geria Mandara, Munggu, Badung. Lebih lanjut diungkapkan bahwa Gunung Lempuyang yang menjulang anggun di timur laut Amlapura, pada mulanya bernama Adri Karang yang berarti Gunung Karang.

Pa
da tahun 1072 (1150 M) tanggal 12 bulan separo terang, Wuku Julungwangi dibulan Cetra, Bhatara Guru menitahkan puteranya yang bernama Sri Maharaja Jayasakti atau Hyang Agnijaya untuk turun ke Bali. Tugas yang diemban seperti dikutip dalam prasasti berbunyi


A.A Gde Jelantik
Raja Karangasem

  • ” gumawyeana Dharma rikang Adri Karang maka kerahayuan ing Jagat Bangsul…”,
  • artinya datang ke Adri Karang membuat Pura (Dharma) untuk memberikan keselamatan lahir-batin bagi Pulau Dewata.
Hyang Agnijaya diceritakan datang berlima dengan saudara-saudaranya yaitu Sambhu, Brahma, Indra, dan Wisnu di Adri Karang (Gunung Lempuyang di sebelah timur laut kota Amlapura). Mengenai hal ihwal nama Lempuyang adalah sebagai tempat yang terpilih atau menjadi pilihan Bhatara Guru (Hyang Parameswara) untuk menyebarkan ‘sih’ Nya bagi keselamatan umat manusia.

Dalam penelitian sejarah keberadaan pura, Lempuyang dihubungkan dengan kata ‘ lampu’ artinya ‘terpilih’ dan ‘Hyang’ berarti Tuhan; Bhatara Guru, Hyang Parameswara. Di Adri Karang inilah beliau Hyang Agnijaya membuat Pura Lempuyang Luhur sebagai tempat beliau bersemadi. Lambat laun Karang Semadi ini berubah menjadi Karangasem.

Sejarah Kerajaan Karangasem tidaklah bisa dilepaskan dengan Kerajaan Gelgel terutama pada masa puncak kebesaran di masa pemerintahan Dalem Waturenggong diperkirakan abad XV. Dalam sejarah, kerajaan Gelgel pertama diperintah oleh putra Brahmana Pendeta Dang Hyang Kepakisan bernama Kresna Wang Bang Kepakisan yang diberi jabatan sebagai adipati oleh Patih Gajah Mada.
Setelah dilantik, beliau bergelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan yang berkedudukan di Samprangan pada tahun saka 1274 (1352 M). Dalam pengangkatan ini disertai pula dengan pakaian kebesaran serta keris yang bernama I Ganja Dungkul dan sebilah tombak diberi nama I Olang Guguh. Dalem Ketut Kresna Kepakisan kemudian wafat pada tahun caka 1302(1380 M) yang meninggalkan tiga orang putra yakni I Dewa Samprangan (Dalem Ile) sebagai pengganti raja, I Dewa Tarukan, dan I Dewa Ktut Tegal Besung (Dalem Ktut Ngulesir).

Pada saat Dalem Ngulesir menjadi raja, pusat pemerintahan kemudian dipindahkan dari Samprangan ke Gelgel (Sweca Pura). Beliau abiseka Dalem Ktut Semara Kepakisan pada caka 1305 (1383 M). Beliau inilah satu-satunya raja dari Dinasti Kepakisan yang masih sempat menghadap Raja Sri Hayam Wuruk di Majapahit untuk menyatakan kesetiaan. Di Majapahit beliau mendapat hadiah keris Ki Bengawan Canggu yang semula bernama Ki Naga Besuki, dan karena tuahnya juga dijuluki Ki Sudamala.

Dalem Ketut Semara Kepakisan juga sempat disucikan oleh Mpu Kayu Manis. Namun, beberapa tahun lamanya setelah datang dari Majapahit, beliau wafat pada caka 1382 (1460 M), dan digantikan oleh putra beliau bernama Dalem Waturenggong. Beliau ini dinobatkan semasih ayahnya hidup pada caka 1380 (1458 M).

Jaman keemasan Dalem Waturenggong dicirikan oleh pemberian perhatian terhadap kehidupan rakyat secara lahir dan batin. Masyarakat menjadi aman, tenteram, makmur, dan kerajaan meluas sampai ke Blambangan, Lombok, dan Sumbawa. Dalam bidang kesusastraan juga mencapai puncak keemasan dengan lahirnya beberapa karya sastra. Keadaan ini mencerminkan bahwa raja memiliki pribadi yang sakti, berwibawa, adil, serta tegas dalam memutar jalannya roda pemerintahan.

Setelah wafat, Dalem Waturenggong digantikan oleh putranya yang belum dewasa yaitu Dewa Pemayun (Dalem Bekung) dan I Dewa Anom Saganing (Dalem Saganing). Karena umurnya yang masih muda maka diperlukan pendamping dalam hal menjalankan roda pemerintahan. Adapun lima orang putra yang menjadi pendamping raja yaitu putra I Dewa Tegal Besung (adik Dalem Waturenggong) diantaranya I Dewa Gedong Arta, I Dewa Anggungan, I Dewa Nusa, I Dewa Bangli, dan I Dewa Pagedangan.

Jabatan Patih Agung pada saat itu dipegang oleh I Gusti Arya Batanjeruk dan semua kebijakan pemerintahan dipegang oleh Patih Arya Batanjeruk. Melihat situasi seperti ini, pejabat kerajaan menjadi tidak puas. Suatu ketika disebutkan kepekaan para pembesar istana saat raja yang masih belia itu dihadap para pembesar. Raja yang masih suka bermain-main ke sana-ke mari selalu duduk di pangkuan Ki Patih Agung.
Dalem Pemayun duduk di atas pupu sebelah kanan dan Ida I Dewa Anom Saganing di sebelah kiri. Kemudian kedua raja ini turun lagi dan duduk di belakang punggung Ki Patih. Isu berkembang bahwa I Gusti Arya Batanjeruk akan mengadakan perebutan kekuasaan. Nasehat Dang Hyang Astapaka terhadap maksud ini tidak diperhatikan oleh Ki Patih Agung sehingga kekecewaan ini menyebabkan hijrahnya Dang Hyang Astapaka menuju ke sebuah desa bernama Budakeling di Karangasem.

Kekacauan di Gelgel terjadi pada tahun 1556 saat Patih Agung Batanjeruk dan salah seorang pendamping raja yaitu I Dewa Anggungan mengadakan perebutan kekuasaan yang diikuti oleh I Gusti Pande dan I Gusti Tohjiwa. I Gusti Kubon Tubuh dan I Gusti Dauh Manginte akhirnya dapat melumpuhkan pasukan Batanjeruk.

Diceritakan Batanjeruk lari ke arah timur dan sampai di Jungutan, Desa Bungaya ia dibunuh oleh pasukan Gelgel pada tahun 1556. Istri dan anak angkatnya yang bernama I Gusti Oka (putra I Gusti Bebengan, adik dari I Gusti Arya Batanjeruk) serta keluarga lainnya seperti I Gusti Arya Bebengan, I Gusti Arya Tusan, dan I Gusti Arya Gunung Nangka dapat menyelamatkan diri berkat pohon jawawut dan burung perkutut yang seolah olah melindungi mereka dari persembunyian, sehingga sampai kini keturunannya tidak makan buah jawawut dan burung perkutut.

I Gusti Oka kemudian mengungsi di kediaman Dang Hyang Astapaka di Budakeling, sedangkan para keluarga lainnya ada yang menetap di Watuaya, Karangasem. Sedikit diceritakan bahwa Dang Hyang Astapaka juga punya asrama di Bukit Mangun di Desa Toya Anyar (Tianyar) dan I Gusti Oka selalu mengikuti Danghyang Astapaka di Bukit Mangun, sedangkan ibunya tinggal di Budakeling membantu sang pendeta bila ada keperluan pergi ke pasar Karangasem.

Pada waktu itu, Karangasem ada di bawah kekuasaan Kerajaan Gelgel, dan yang menjadi raja adalah I Dewa Karangamla yang berkedudukan di Selagumi (Balepunduk). I Dewa Karangamla inilah yang mengawini janda Batanjeruk dengan suatu syarat sesuai nasehat Dang Hyang Astapaka bahwa setelah kawin, kelak I Gusti Pangeran Oka atau keturunannyalah yang menjadi penguasa.

Syarat ini disetujui dan kemudian keluarga I Dewa Karangamla berpindah dari Selagumi ke Batuaya. I Dewa Karangamla juga mempunyai putra dari istrinya yang lain yakni bernama I Dewa Gde Batuaya. Penyerahan pemerintahan kepada I Gusti Oka (raja Karangasem I) inilah menandai kekuasaan di Karangasem dipegang oleh dinasti Batanjeruk. I Gusti Oka atau dikenal dengan Pangeran Oka memiliki tiga orang istri, dua orang prebali yang seorang diantaranya treh I Gusti Akah.

Para istri ini menurunkan enam orang putra yaitu tertua bernama I Gusti Wayahan Teruna dan I Gusti Nengah Begbeg. Sedangkan istri yang merupakan treh I Gusti Akah berputra I Gusti Nyoman Karang. Putra dari istri prebali yang lain adalah I Gusti Ktut Landung, I Gusti Marga Wayahan dan I Gusti Wayahan Bantas. Setelah putranya dewasa, I Gusti Pangeran Oka meninggalkan Batuaya pergi bertapa di Bukit Mangun, Toya Anyar. Beliau mengikuti jejak Dang Hyang Astapaka sampai wafat di Bukit Mangun.

I Gusti Nyoman Karang inilah yang meggantikan ayahnya menjadi raja (raja Karangasem II) yang diperkirakan tahun 1611 Masehi. I Gusti Nyoman Karang menurunkan seorang putra bernama I Gusti Ktut Karang yang setelah menjadi raja bergelar (abhiseka) I Gusti Anglurah Ktut Karang (raja Karangasem III). Beliau ini diperikirakan mendirikan Puri Amlaraja yang kemudian bernama Puri Kelodan pada pertengahan abad XVII (sekitar tahun caka 1583, atau tahun 1661 M).

I Gusti Anglurah Ktut Karang berputra empat orang yaitu tiga orang laki-laki dan satuperempuan. Putranya yang tertua bernama I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, I Gusti Ayu Nyoman Rai dan I Gusti Anglurah Ktut Karangasem. Ketiga orang putra inilah yang didaulat menjadi raja Karangasem (raja Karangasem IV/Tri Tunggal I) yang memerintah secara kolektif sebagai suatu hal yang dianggap lazim pada jaman itu.

Pemerintahan ini diperkirakan tahun 1680-1705. Selanjutnya yang menjadi raja Karangasem adalah putra I Gusti Anglurah Nengah Karangasem yaitu I Gusti Anglurah Made Karang (raja Karangasem V). Selanjutnya I Gusti Anglurah Made Karang berputra enam orang, empat orang laki-laki dan dua orang wanita. Salah seorang dari enam putranya yang sulung bernama I Gusti Anglurah Made Karangasem Sakti yang dijuluki Sang Atapa Rare karena gemar menjalankan yoga semadi sebagai pengikut Dang Hyang Astapaka.

Dalam keadaan atapa rare inilah beliau menghadapi maut dibunuh oleh prajurit Gelgel atas perintah Cokorda Jambe ketika beliau kembali dari Sangeh. Diceritakan, atas perkenan Raja Mengwi Sang Atape Rare membangun Pura Bukit Sari yang ada di Sangeh. Sekembalinya dari Sangeh beliau sempat mampir di Gelgel yang pada waktu itu berkuasa adalah Cokorda Jambe.

Karena tingkah yang aneh-aneh di istana yang tidak bisa menahan kencing menyebabkan terjadi salah paham, dan dianggap telah menghina raja. Maka setelah keberangkatannya ke Karangasem, beliau dicegat di sebelah timur Desa Kusamba, di padasan Bulatri. sebelum beliau wafat, beliau sempat pula memberikan pesan-pesan kediatmikan kepada putranya yakni I Gusti Anglurah Nyoman Karangasem.

Beliau ini kemudian dikenal dengan sebutan Dewata di Bulatri. Peristiwa ini menyebabkan perang antara Karangasem dan Klungkung (Gelgel) yang dikenal dengan pepet (dalam keadaan perang). Setelah gugurnya Cokorda Jambe, maka ketegangan antara Karangasem dan Klungkung menjadi reda. Tahta di Karangasem kemudian dilanjutkan oleh tiga orang putranya yaitu I Gusti Anglurah Made Karangasem, I Gusti Anglurah Nyoman Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ktut Karangasem (raja Karangasem Tri Tunggal II) yang diperkirakan memerintah 1755-1801.

Setelah raja Tri Tunggal wafat, pemerintahan Kerajaan Karangasem dipegang oleh I Gusti Gde Karangasem (Dewata di Tohpati) antara tahun 1801-1806. Pada saat ini Kerajaan Karangasem semakin besar yang meluaskan kekuasaannya sampai ke Buleleng dan Jembrana. Setelah wafat, I Gusti Gde Ngurah Karangasem digantikan oleh anaknya bernama I Gusti Lanang Peguyangan yang juga dikenal dengan I Gusti Gde Lanang Karangasem.

Kemenangan Kerajaan Buleleng melawan Kerajaan Karangasem menyebabkan raja Karangasem (I Gusti Lanang Peguyangan) menyingkir dan saat itu Kerajaan Karangasem dikuasai oleh raja Buleleng I Dewa Pahang. Kekuasaan akhirnya dapat direbut kembali oleh I Gusti Lanang Peguyangan. Pemberontakan punggawa yang bernama I Gusti Bagus Karang tahun 1827 berhasil menggulingkan I Gusti Lanang Peguyangan sehingga melarikan diri ke Lombok, dan tahta Kerajaan Karangasem dipegang oleh I Gusti Bagus Karang.

Ketika I Gusti Bagus Karang gugur dalam menyerang Lombok, pada saat yang sama Raja Buleleng I Gusti Ngurah Made Karangasem berhasil menaklukan Karangasem dan mengangkat menantunya I Gusti Gde Cotong menjadi raja Karangasem. Setelah I Gusti Gde Cotong terbunuh akibat perebutan kekuasaan, tahta Karangasem dilanjutkan oleh saudara sepupu raja Buleleng yaitu I Gusti Ngurah Gde Karangasem.

Pada saat Kerajaan Karangasem jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 20 Mei 1849, raja Karangasem I Gusti Ngurah Gde Karangasem gugur dalam peristiwa tersebut sehingga pemerintahan di Karangasem mengalami kekosongan (vacuum). Maka dinobatkanlah raja Mataram I Gusti Ngurah Ketut Karangasem sebagai raja di Karangasem oleh pemerintah Hindia Belanda. Setelah berselang beberapa waktu kemudian, raja Mataram menugaskan kemenakannya menjadi raja yaitu I Gusti Gde Putu (Anak Agung Gde Putu) yang juga disebut ‘Raja Jumeneng’, I Gusti Gde Oka (Anak Agung Gde Oka), dan Anak Agung Gde Jelantik.

Setelah masuknya Belanda, membawa pengaruh pula dalam hal birokrasi pemerintahan. Pada tahun 1906 di Bali terdapat tiga macam bentuk pemerintahan yaitu
  1. Rechtstreeks bestuurd gebied (pemerintahan langsung) meliputi Buleleng, Jembrana, dan Lombok,
  2. Zelfbesturend landschappen (pemerintahan sendiri) ialah Badung, Tabanan, Klungkung, dan Bangli,
  3. Stedehouder (wakil pemerintah Belanda) ialah Gianyar dan Karangasem.
Demikianlah di Karangasem berturut-turut yang menjadi Stedehouder yaitu tahun 1896-1908; I Gusti Gde Jelantik (Dewata di Maskerdam), dan Stedehouder I Gusti Bagus Jelantik yang bergelar Anak Agung Agung Anglurah Ktut Karangasem (Dewata di Maskerdam) antar tahun 1908-1941.

Demikian sajian ringkas sejarah Kerajaan Karangasem yang dijadikan gambaran umum kajian pokok objek penelitian. Deskripsi historis hal ini sangat penting mengingat dalam mengupas bagian peristiwa yang termasuk rentetan sejarah tidaklah bisa dilepaskan dari rangkaian peristiwa yang terjadi. Sehingga dalam segi manfaat, dimensi waktu akan dapat ditangkap oleh pembaca mengenai kurun waktu peristiwa dimaksud.

Demikian pula dalam kajian ini, maka objek penekanannya adalah saat masa raja Karangasem dinasti Tri Tunggal I yaitu I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ktut Karangasem. Masa Dinasti Tri Tunggal I Masa kekuasaan Kerajaan Karangasem Tri Tunggal I menjadi sajian yang perlu mendapat pemahaman dalam relevansinya menjabarkan objek penelitian.

Ketika pemerintahan Kerajaan Karangasem yang diperintah oleh Tri Tunggal I yaitu I Gusti Anglurah Wayan Karangasem, I Gusti Anglurah Nengah Karangasem, dan I Gusti Anglurah Ktut Karangasem inilah muncul mitologi Pura Bukit sebagaimana diceritakan dalam buku Kupu-Kupu Kuning. Saudara raja Tri Tunggal yang bernama I Gusti Ayu Nyoman Rai diambil menjadi istri oleh Ida Bhatara Gde di Gunung Agung yang kemudian melahirkan Ida B
hatara Alit Sakti yang kini bermukim di Pura Bukit

Softskill iIlmu Sosial Dasar) 2

Rekomendasi tempat makan di jabodetabek
 
Betawi Ngoempoel






Betawi Ngoempoel: Rela Datang Jauh-Jauh Demi Sepiring Pecak Ikan Mas
Deani Sekar Hapsari - detikFood
Memang perlu sedikit kesabaran untuk mencapai restoran tempat orang Betawi berkumpul ini. Semua lelah rasanya terobati saat kami berhasil mencicipi Gabus Pucung gurih serta satu porsi Pecak Ikan Mas yang segar pedas. Penasaran? 

Ngidam makanan Betawi gurih dan kaya rempah membuat kami rela menghampiri sebuah rumah makan sederhana bernama Betawi Ngumpul. Terletak di Jl. Raya Tanah Baru, kecamatan Beji, Depok rumah makan ini terlihat sedikit terpencil dengan lapangan luas serta sebuah rumah gaya Betawi kuno di depannya. 

Anda akan 'disapa' oleh ondel-ondel pria dan wanita dengan baju berwarna yang menambah cerah rumah makan ini walau cahaya matahari mulai redup. Tidak perlu bingung memilih santapan sore ini karena sejak Anda melangkah masuk, sebuah papan bertuliskan Gabus Pucung, Sayur Goreng Asem, Pepes Peda, hingga Gabus Kering mengingatkan apa saja hidangan yang perlu Anda cicipi. 

Walau restoran menampilkan suasana meriah ala masyarakat Betawi, hidangan yang disajikan kembali sederhana seperti di rumah. Karena cukup lapar, kami pun penasaran mencicip Ikan Mas Pecak (Rp 20.000), Ikan Gabus Pucung (Rp 30.000), dan Sayur Goreng Asem (Rp 10.000). 

Kami akui cukup kaget mendapati rumah makan Betawi yang cukup dikenal masih punya stok Gabus Pucung saat hari makin malam. “Iya mbak, persediannya sedang banyak hari ini,” jawab seorang pelayan wanita. Jika ke sini, Anda akan disuguhi teh hangat tawar dengan teko enamel berwarna hijau berulir putih serta gelas besi kecil. 

Menguatkan konsep rumah makan Betawi, seni tradisional Betawi seperti tarian dan musik, terpampang dalam wujud foto- foto lama di dinding rumah makan ini. Di dekat kasir, terdapat radio dan gramofon vintage bertumpuk dengan peralatan dapur seperti rantang kuno. 

Seporsi Gabus Pucung akhirnya dihantarkan untuk kami. Dinilai dari satu potongan, kami bisa memastikan ikan gabus yang dimasak mempunyai ukuran cukup besar dengan daging relatif tebal. Berbeda dengan Gabus Pucung lainnya, disini kuahnya terlihat tidak terlalu hitam tapi cenderung kecokelatan. 

Warna cerah ditonjolkan lewat garnish petai, daun bawang, cabai, dan bawang goreng. Dalam kuahnya terkecap rasa kluwek yang gurih dengan sentuhan rasa daun jeruk, kemiri, dan kunyit lezat. Daging gabus yang terlebih dahulu digoreng terasa kenyal dan juicy, rasa gurih alaminya pun bersanding sempurna dengan kuah kental kaya rempah. 

Kurang pedas? Anda bisa menikmatinya bersama cabai rawit segar. Karena kuah terasa sedikit asin, rasanya tambah nikmat disendok bersama nasi pulen hangat! 

Pecak ikan mas pun diracik berbeda di Betawi Ngumpul. Kacang dan sambal sering menjadi bubuk pecak, sedangkan di sini ikan mas digoreng dan disiramkan kuah bening hasil rebusan rempah. Jangan remehkan warnanya yang bening karena rasanya ternyata pedas segar! 

Satu sesapan terasa hangat dengan campuran rasa jahe, lengkuas, dan cabai yang cukup kuat di kerongkongan. Sebagai garnish bumbu- bumbu tersebut termasuk bawang merah dan jeruk nipis diraburkan di atasnya. 

Ikan mas mempunyai ukuran sedang digoreng terlebih dahulu mempunyai kulit luar garing yang dilembutkan oleh siraman kuah. Tidak ada jejak aroma ataupun rasa amis dalam ikan, dagingnya terasa lembut dan kenyal saat dikoyak dengan sentuhan rasa asin. Wah, hidangan ini pastinya jadi favorit para penyuka pedas! 

Mampir ke restoran ini rasanya tak lengkap tanpa mencoba hidangan sayur khas Betawi. Pilihan Sayur Goreng Asem bisa Anda pilih untuk varian rasa yang cukup berbeda dari sayur asem biasa. Kuah terlihat berwarna hijau kekuningan dengan bercak minyak merah di permukaannya. 

Setara dengan harganya, hidangan ini mempunyai porsi cukup besar. Didalamnya terdapat sayur seperti nangka muda, labu siam, jagung, daun melinjo, melinjo, dan kacang panjang. 

Tumisan cabai dan kunyit gurih pedas, seimbang dengan rasa asam segar. Sayur nangka masih terasa garing sangat lezat bersama kacang panjang dan jagung yang manis renyah. 

Masuk dalam keadaan lapar dan pulang dengan perut kekenyangan! Ketiga hidangan ini berhasil mengobati rindu kami akan hidangan Betawi yang mulai jarang ditemui. Pastinya akan kembali kesini dan mencicipi beberapa menu seperti pepes peda dan sop iga yang juga menjadi favorit. 

Betawi Ngoempoel 
Jalan Raya Tanah Baru No 74 
Kel. Tanah Baru Kec. Beji 
Kota Depok

Softskill (ilmu sosial dasar 1)

► Gotong-Royong


           Gotong royong adalah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat untung meringankan suatu beban yang dilakukan atas dasar kemauan sendiri tanpa adanya dorongan atau paksaan yang menghasilkan kerja sama antara satu orang dengan orang lainnya untuk mempermudah suatu pekerjaan.
     Di indonesia sendiri gotong royong sudah ada sejak nenek moyang kita. Saat ini gotong royong merupakan budaya yang di turunkan dari leluhur. 
konsep gotong royong ini menggambarkan suatu usaha, satu amal, satu pekerjaan secara bersama sama. Gotong royong ibratanya seperti "erat sama di jinjing ringan sama dipikul" perjuangan dipikul bersama. Apa yang dilakukan untuk kepentingan bersama.
Gotong-royong sesungguhnya adalah suatu nilai. Sebagai suatu nilai, gotong-royong baru dapat diamati setelah terwujud dalam aspek tingkah laku.

~ Manfaat Gotong-Royong

1.Menumbuhkan rasa kerja sama.

     Gotong royong memberikan dampak positif terhadap individu. Manfaat pertama dari gotong royong bagi masyarakat adalah menumbuhkan rasa kerja sama. Setiap orang akan memiliki solidaritas yang tinggi. Ketika melihat orang lain menanggung beban terlalu berat, maka orang lain akan dengan suka rela membantu. Hal ini didasarkan pada rasa kemanusiaan setiap individu. Dengan adanya gotong royong, setiap individu akan tergerak untuk saling bekerja sama. Gotong royong ketika orang lain mengerjakan pekerjaan berat membuat individu tergerak untuk kerja sama. Pekerjaan yang berat akan terasa ringan ketika semua orang bekerja sama. Kerja sama adalah bekerja untuk menyelesaikan pekerjaan secara bersama-sama

2.Menumbuhkan rasa sosial.

     Gotong royong akan menumbuhkan rasa sosial dari setiap individu. Dengan adanya jiwa gotong royong, setiap individu akan tergerak untuk membantu orang lain yang sedang terkena musibah. Contohnya adalah ketika ada salah satu daerah di Indonesia yang sedang terkena tsunami. Warga Indonesia dari daerah lain akan langsung ikut membantu. Bantuan yang dikirim bisa berupa uang, makanan, dan juga baju bersih. Selain itu, beberapa lembaga pemerintah akan terjun langsung untuk mengevakuasi dan juga membuat tempat perlindungan sementara. Hal ini membuktikan bahwa gotong royong akan memberi manfaat dan menumbuhkan rasa sosial dari setiap individu. Selain membantu secara finansial, hal ini juga akan mengurangi kesedihan dari korban bencana

3.Memupuk persatuan dan kesatuan.

      Gotong royong bermanfaat untuk memupuk persatuan dan kesatuan pada warga Indonesia. Setiap orang membutuhkan orang lain dihidupnya. Oleh karena itu, persatuan dan kesatuan dalam Negara Indonesia sangat dibutuhkan. Memupuk persatuan dan kesatuan dapat dilakukan dengan bergotong-royong. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan dengan gotong royong, orang-orang akan merasakan tanggung jawab dan juga saling membutuhkan satu sama lain. Biasanya, gotong royong dipupuk sejak ada di lingkungan masyarakat. Setiap sekali dalam satu bulan diadakan kerja bakti pembersihan lingkungan.