Jumat, 18 Desember 2015

cerpen





            Warna dalam Sebuah Karya



Tak terasa telah sebulan Ayah meninggalkan kami semua. Ia adalah sosok Ayah, Pemimpin, dan Seniman bagi kami. Mama sangat terpukul atas kepergian Ayah. Ayah meninggalkan 5 orang anak yaitu, Kak Nia, Kak Karin, Bang Andi, Bang Kiki, dan yang terakhir adalah aku Risa, seorang bocah yang ditinggal Ayahnya ketika berumur 13 tahun. Sebelum kepergian Ayah, Ia berpesan kepada kami, “Jangan nakal ya anak-anakku jangan sampai Mama kalian meneteskan air mata. Andi dan Kiki jaga Ibu, Kakak, dan Adik kalian ya sayang Ayah.” Kami semua mendengar apa yang dikatakan Ayah.
Malam sebelum kepergian Ayah, kami semua masih bercanda sambil menonton televisi. Ketika hendak tidur sekitar jam 12.30, Jantung Ayah kambuh, kami segera membawa Ayah ke rumah sakit. Dalam perjalanan Ayah berpesan kepadaku “Risa anak Ayah jangan lupa salat ya nak, dan ingat satu hal hanya dengan sewarna tinta mampu membuat suatu karya yang luar biasa.”
“Iya yah” jawabku, yang pada saat itu aku belum mengerti apa arti dari ucapan Ayah.
Tak berapa lama kami pun sampai, Ayah langsung masuk ke ruang ICU. Dokter segera memeriksa nadi Ayah. Aku berharap Ayah bisa disembuhkan. Tapi Dokter bilang Ayah sudah tiada. “Dok, coba periksa lagi Ayah itu masih hidup.” tegasku.
“Mohon maaf nak, Ayah kamu sudah tiada. Kami sudah memeriksa nadinya tapi tidak ada respon. Kalian semua yang sabar ya.” kata Dokter.
Kami semua langsung memeluk Mama, kami sangat berduka atas kepergian Ayah.
Setengah windu kemudian.
Kak Nia lulus S2 di salah satu Universitas Yogyakarta dan ia juga sudah berkeluarga di sana. Begitu juga Kak Karin dan Bang Andi, mereka sudah lulus di Universitas yang ada di Padang dan sudah berkeluarga di sana. Mereka sudah tidak tinggal bersama Mama. Sekarang yang ada di rumah hanya ada Aku, Mama, dan Bang Kiki. Bang Kiki sedang menyelesaikan S1 di Universitas Sumatera Utara dan aku sedang duduk di bangku SMA kelas 3. Mama adalah seorang Guru yang telah membesarkan kami setelah kepergian Ayah. Mama banting tulang demi kesuksesan anak-anaknya dan ia adalah orang yang sangat luar biasa.
“Ma Risa pijatkan yaa.. Mama pasti cape.” ujarku.
“Makasih sayang.” kata Mama.
Setiap pagi Mama selalu menyiapkan sarapan dan mengantarku ke sekolah, lalu ia pergi mengajar. Bang Kikilah yang selalu membantu Mama menyiapkan sarapan pagi.
“Makasih sayang.” kata Mama. “Iya Ma.” jawab Bang Kiki.
Setelah beberapa tahun kemudian, Bang Kiki sudah lulus S1 dan melanjutkan S2 di Padang. Dan setelah tamat nanti aku ingin kuliah di Yogya, tapi kuputuskan untuk kuliah di Medan mengambil jurusan seni dan budaya. Satu hal yang membuatku mengambil jurusan itu adalah karena aku menyukai seni dan ingin menjadi Seniman apalagi pesan Ayah yang selalu kuingat di hati. Aku pernah ikut berbagai lomba seni, seperti menyanyi dan melukis. Sering menang dan juga sangat sering kalah namanya juga kompetisi ada yang menang dan ada yang kalah.
Beberapa bulan ini Mama mulai sering sakit-sakitan. Kakak dan Abang sedang sibuk di luar kota. Aku dan Mama telah lama menanti untuk menjenguk kami. Akhirnya Mama pun masuk rumah sakit. Pada saat itu juga aku sedang mengikuti lomba melukis. Ketika sedang mengikuti lomba salah seorang kerabat Mama menghubungiku dan mengatakan kalau Mama masuk rumah sakit dan di hari itu juga ku batalkan lomba melukis dan segera pergi ke rumah sakit.
“Mama.. Mama.. bagaimana keadaan Mama? Sudah baikan belum?” tanyaku.
“Sudah nak, Mama sudah baikan. Risa sudah makan?” tanya Mama.
“Risa sudah makan ma.” kataku.
“Bukannya kamu hari ini lagi lomba melukis kenapa kamu di sini?” tanya Mama.
“Ma soal lomba bisa kapan-kapan kok, yang terpenting Risa bisa nemenin Mama.” kataku.
“Makasih ya sayang.” kata Mama.
Sore harinya Kakak dan Abang balik ke Medan dan di saat itu pula dokter sudah mengizinkan Mama untuk pulang. Kakak dan Abang tinggal selama seminggu di sini Mama sangat bahagia karena bisa berkumpul dengan anak, menantu, dan juga cucunya.
Setelah seminggu.
“Nenek besok Caca balik ke Yogya.” ujar Caca anak Kak Nia.
“Iya nek, Isan besok juga pulang ke Padang, padahal di sini enak ada Kak Risa.” sahut Isan anak Bang Andi.
“Kan kapan-kapan kita bisa jumpa lagi sayang.” ucapku.
“Bener ya kak?” kata Isan dan Caca.
“Iya sayang.” kataku.
Esok harinya Kakak dan Abangku pulang ke Yogya dan Padang. “Ma kami pulang dulu ya, Mama jaga kesehatan jangan sakit-sakit lagi kami sayang Mama.” ujar mereka.
“Iya nak hati-hati.” kata Mama sambil mencium dan memeluk mereka. Rumah kembali sepi hanya ada aku dan Mama.
“Sepi lagi deh..” sahutku.
“Kan ada Mama.” kata Mama tersenyum.
“Iya ma.” kataku memeluk Mama.
Keesokan harinya.
“Ma, Risa pergi ke kampus ya.” kataku.
“Iya sayang hati-hati.” kata Mama.
Sampai Kampus, aku melihat papan mading dan di sana tertulis lomba melukis tingkat Asia. Aku sangat tertarik pada lomba tersebut. Sepulang dari kampus, aku langsung memberitahu Mama dan meminta izin mengikuti lomba tersebut. Mama mengizinkanku dan lomba dilaksanakan dalam waktu sebulan.
Aku pun mulai melukis pada awal Bulan Maret. Tak terasa aku sudah membuat tiga lukisan sekaligus dan hasilnya memuaskan. “Ma, manakah dari ketiga lukisan ini yang bisa aku kirimkan?” tanyaku. “Semuanya bisa dikirimkan tapi menurut Mama lukisanmu yang naturalis ini yang sangat indah.” kata Mama.
“Oke Ma, besok Risa kirim lukisan ini.” kataku. Esoknya lukisan ini ku kirim melalui dosen seni, dan pemenang lomba akan diumumkan di pertengahan Bulan April.
Waktu itu tanggal 20 April. Mama sesak napas. Mama sesak napas dan segera membawa Mama ke rumah sakit. Mama masuk ruang ICU, dan sudah tiga hari aku tidak masuk kampus. Menjaga Mama dan berdoa semoga Tuhan memberikan kesembuhan buat Mama. Tapi, Tuhan berkata lain. Mama menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 25 April. Sebelum menghembuskan napas terakhir ia berpesan kepadaku untuk terus berkarya, jangan lupa shalat dan mengucapkan terima kasih kepadaku karena telah merawat dan menjaganya. Orang yang aku cintai kembali dipanggil sang Maha Kuasa. “Selamat jalan Mama, semoga amal ibadah Mama diterima Sang Kuasa.” Ucapku meneteskan air mata.
Setelah tiga hari berikutnya aku masuk kampus, dan di sana ada pengumuman lomba melukis yang aku ikuti sebelumnya. Aku berhasil mendapat juara 2 melukis tingkat Asia, aku gak nyangka kalau aku menang. “Terima kasih Tuhan.” sahutku.
“Selamat nak kamu berhasil mendapatkannya.” Kata salah seorang dosen seniku.
“Terima kasih pak.” kataku.
“Hey Sa yuk sini foto dulu kita.” Kata sahabatku Rizka.
“Oke ayo, ayo.” ujarku.
“Selamat ya Sa kamu menang dan turut berduka juga atas kepergian Mamamu, maaf ya aku gak bisa datang, orangtua Rizka juga sedang sakit di kampung.” Tegas sahabatku itu.
“Iya gak apa-apa makasih ya Riz. Hmm.. aku pergi dulu ya.” ucapku.                                                                                “Hati-hati Sa.” kata Rizka.                                                                                                                                                                   Aku pun pergi ke pemakaman Ayah dan Mama. Ku taburkan bunga dan berdoa semoga dilapangkan kuburnya dan semua amal ibadahnya di terima Sang Kuasa.                                                                                          “Mama.. Ayah.. Risa berhasil mendapatkan juara 2 melukis tingkat Asia, semua ini berkat Mama dan Ayah, terima kasih telah membesarkan Risa dan Risa akan selalu ingat apa yang dikatakan Mama dan Ayah, terima kasih sekali lagi Ma.. Yah..” ucapku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar