Warna dalam Sebuah Karya
Tak terasa telah sebulan Ayah meninggalkan kami semua. Ia
adalah sosok Ayah, Pemimpin, dan Seniman bagi kami. Mama sangat terpukul atas
kepergian Ayah. Ayah meninggalkan 5 orang anak yaitu, Kak Nia, Kak Karin, Bang
Andi, Bang Kiki, dan yang terakhir adalah aku Risa, seorang bocah yang
ditinggal Ayahnya ketika berumur 13 tahun. Sebelum kepergian Ayah, Ia berpesan
kepada kami, “Jangan nakal ya anak-anakku jangan sampai Mama kalian meneteskan
air mata. Andi dan Kiki jaga Ibu, Kakak, dan Adik kalian ya sayang Ayah.” Kami
semua mendengar apa yang dikatakan Ayah.
Malam sebelum kepergian Ayah, kami semua masih bercanda
sambil menonton televisi. Ketika hendak tidur sekitar jam 12.30, Jantung Ayah
kambuh, kami segera membawa Ayah ke rumah sakit. Dalam perjalanan Ayah berpesan
kepadaku “Risa anak Ayah jangan lupa salat ya nak, dan ingat satu hal hanya
dengan sewarna tinta mampu membuat suatu karya yang luar biasa.”
“Iya yah” jawabku, yang pada saat itu aku belum mengerti apa
arti dari ucapan Ayah.
Tak berapa lama kami pun sampai, Ayah langsung masuk ke
ruang ICU. Dokter segera memeriksa nadi Ayah. Aku berharap Ayah bisa
disembuhkan. Tapi Dokter bilang Ayah sudah tiada. “Dok, coba periksa lagi Ayah
itu masih hidup.” tegasku.
“Mohon maaf nak, Ayah kamu sudah tiada. Kami sudah memeriksa
nadinya tapi tidak ada respon. Kalian semua yang sabar ya.” kata Dokter.
Kami semua langsung memeluk Mama, kami sangat berduka atas
kepergian Ayah.
Setengah windu kemudian.
Kak Nia lulus S2 di salah satu Universitas Yogyakarta dan ia
juga sudah berkeluarga di sana. Begitu juga Kak Karin dan Bang Andi, mereka
sudah lulus di Universitas yang ada di Padang dan sudah berkeluarga di sana.
Mereka sudah tidak tinggal bersama Mama. Sekarang yang ada di rumah hanya ada
Aku, Mama, dan Bang Kiki. Bang Kiki sedang menyelesaikan S1 di Universitas
Sumatera Utara dan aku sedang duduk di bangku SMA kelas 3. Mama adalah seorang
Guru yang telah membesarkan kami setelah kepergian Ayah. Mama banting tulang
demi kesuksesan anak-anaknya dan ia adalah orang yang sangat luar biasa.
“Ma Risa pijatkan yaa.. Mama pasti cape.” ujarku.
“Makasih sayang.” kata Mama.
Setiap pagi Mama selalu menyiapkan sarapan dan mengantarku
ke sekolah, lalu ia pergi mengajar. Bang Kikilah yang selalu membantu Mama
menyiapkan sarapan pagi.
“Makasih sayang.” kata Mama. “Iya Ma.” jawab Bang Kiki.
Setelah beberapa tahun kemudian, Bang Kiki sudah lulus S1
dan melanjutkan S2 di Padang. Dan setelah tamat nanti aku ingin kuliah di
Yogya, tapi kuputuskan untuk kuliah di Medan mengambil jurusan seni dan budaya.
Satu hal yang membuatku mengambil jurusan itu adalah karena aku menyukai seni
dan ingin menjadi Seniman apalagi pesan Ayah yang selalu kuingat di hati. Aku
pernah ikut berbagai lomba seni, seperti menyanyi dan melukis. Sering menang
dan juga sangat sering kalah namanya juga kompetisi ada yang menang dan ada
yang kalah.
Beberapa bulan ini Mama mulai sering sakit-sakitan. Kakak
dan Abang sedang sibuk di luar kota. Aku dan Mama telah lama menanti untuk
menjenguk kami. Akhirnya Mama pun masuk rumah sakit. Pada saat itu juga aku
sedang mengikuti lomba melukis. Ketika sedang mengikuti lomba salah seorang
kerabat Mama menghubungiku dan mengatakan kalau Mama masuk rumah sakit dan di
hari itu juga ku batalkan lomba melukis dan segera pergi ke rumah sakit.
“Mama.. Mama.. bagaimana keadaan Mama? Sudah baikan belum?”
tanyaku.
“Sudah nak, Mama sudah baikan. Risa sudah makan?” tanya
Mama.
“Risa sudah makan ma.” kataku.
“Bukannya kamu hari ini lagi lomba melukis kenapa kamu di
sini?” tanya Mama.
“Ma soal lomba bisa kapan-kapan kok, yang terpenting Risa
bisa nemenin Mama.” kataku.
“Makasih ya sayang.” kata Mama.
Sore harinya Kakak dan Abang balik ke Medan dan di saat itu
pula dokter sudah mengizinkan Mama untuk pulang. Kakak dan Abang tinggal selama
seminggu di sini Mama sangat bahagia karena bisa berkumpul dengan anak,
menantu, dan juga cucunya.
Setelah seminggu.
“Nenek besok Caca balik ke Yogya.” ujar Caca anak Kak Nia.
“Iya nek, Isan besok juga pulang ke Padang, padahal di sini
enak ada Kak Risa.” sahut Isan anak Bang Andi.
“Kan kapan-kapan kita bisa jumpa lagi sayang.” ucapku.
“Bener ya kak?” kata Isan dan Caca.
“Iya sayang.” kataku.
Esok harinya Kakak dan Abangku pulang ke Yogya dan Padang.
“Ma kami pulang dulu ya, Mama jaga kesehatan jangan sakit-sakit lagi kami
sayang Mama.” ujar mereka.
“Iya nak hati-hati.” kata Mama sambil mencium dan memeluk
mereka. Rumah kembali sepi hanya ada aku dan Mama.
“Sepi lagi deh..” sahutku.
“Kan ada Mama.” kata Mama tersenyum.
“Iya ma.” kataku memeluk Mama.
Keesokan harinya.
“Ma, Risa pergi ke kampus ya.” kataku.
“Iya sayang hati-hati.” kata Mama.
Sampai Kampus, aku melihat papan mading dan di sana tertulis
lomba melukis tingkat Asia. Aku sangat tertarik pada lomba tersebut. Sepulang
dari kampus, aku langsung memberitahu Mama dan meminta izin mengikuti lomba
tersebut. Mama mengizinkanku dan lomba dilaksanakan dalam waktu sebulan.
Aku pun mulai melukis pada awal Bulan Maret. Tak terasa aku
sudah membuat tiga lukisan sekaligus dan hasilnya memuaskan. “Ma, manakah dari
ketiga lukisan ini yang bisa aku kirimkan?” tanyaku. “Semuanya bisa dikirimkan
tapi menurut Mama lukisanmu yang naturalis ini yang sangat indah.” kata Mama.
“Oke Ma, besok Risa kirim lukisan ini.” kataku. Esoknya
lukisan ini ku kirim melalui dosen seni, dan pemenang lomba akan diumumkan di
pertengahan Bulan April.
Waktu itu tanggal 20 April. Mama sesak napas. Mama sesak
napas dan segera membawa Mama ke rumah sakit. Mama masuk ruang ICU, dan sudah
tiga hari aku tidak masuk kampus. Menjaga Mama dan berdoa semoga Tuhan
memberikan kesembuhan buat Mama. Tapi, Tuhan berkata lain. Mama menghembuskan
napas terakhirnya pada tanggal 25 April. Sebelum menghembuskan napas terakhir
ia berpesan kepadaku untuk terus berkarya, jangan lupa shalat dan mengucapkan
terima kasih kepadaku karena telah merawat dan menjaganya. Orang yang aku
cintai kembali dipanggil sang Maha Kuasa. “Selamat jalan Mama, semoga amal
ibadah Mama diterima Sang Kuasa.” Ucapku meneteskan air mata.
Setelah tiga hari berikutnya aku masuk kampus, dan di sana
ada pengumuman lomba melukis yang aku ikuti sebelumnya. Aku berhasil mendapat
juara 2 melukis tingkat Asia, aku gak nyangka kalau aku menang. “Terima kasih
Tuhan.” sahutku.
“Selamat nak kamu berhasil mendapatkannya.” Kata salah
seorang dosen seniku.
“Terima kasih pak.” kataku.
“Hey Sa yuk sini foto dulu kita.” Kata sahabatku Rizka.
“Oke ayo, ayo.” ujarku.
“Selamat ya Sa kamu menang dan turut berduka juga atas
kepergian Mamamu, maaf ya aku gak bisa datang, orangtua Rizka juga sedang sakit
di kampung.” Tegas sahabatku itu.
“Iya gak apa-apa makasih ya Riz. Hmm.. aku pergi dulu ya.”
ucapku.
“Hati-hati Sa.” kata Rizka.
Aku pun pergi ke pemakaman Ayah dan Mama. Ku taburkan bunga dan berdoa
semoga dilapangkan kuburnya dan semua amal ibadahnya di terima Sang Kuasa.
“Mama.. Ayah.. Risa berhasil mendapatkan juara 2 melukis tingkat Asia,
semua ini berkat Mama dan Ayah, terima kasih telah membesarkan Risa dan Risa
akan selalu ingat apa yang dikatakan Mama dan Ayah, terima kasih sekali lagi
Ma.. Yah..” ucapku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar